Kepergian Pak Abu


Siapa yang tidak mengenal Pak Abu. Bahkan anak-anak kecil di kampungku pun sosoknya bagaikan orang tua kedua. Asal Pak Abu datang, anak-anak kecil ini akan merubunginya dan meminta Pak Abu untuk membaca hikayat lama yang akan membuat mereka berjam-jam tak mau luput dari setiap cerita.

Pak Abu juga membuat anak-anak muda kampung yang pengangguran agar dapat menghasilkan uang saku dengan cara Pak Abu mempekerjakan mereka, untuk membawa kelapa-kelapa dari kebunnya yang luas agar dijual ke kota. Hasilnya, tentu uang-uang itu bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anak muda di kampungku.

Pak Abu juga sering membuat acara kecil-kecil di kalangan bapak-bapak. Paling sering mendiskusikan perihal hama yang kerab menyerang sawah. Dengan rutin, Pak Abu mendengar banyak keluhan dari bapak-bapak di kampungku. Ia memang bukan salah satu perangkat desa yang seharusnya tahu permasalahan masyarakat. Tapi Pak Abu sendiri memang punya sosok pemimpin dalam dirinya. Dan terus saja membuat kegiatan-kegiatan yang dampaknya sangat dirasakan masyarakat kampungku.

Pernah suatu kali bapak-bapak di kampungku menyarankan ia menjadi kepala desa. Dengan bagitu, masyarakat akan mudah untuk minta bantuan apa saja untuk keperluan kampung. Tapi ia menolak.

Sambil tertawa kecil, ia berkata, “Jika nanti saya jadi kepala desa, tentu punya banyak kepentingan lain. Dan saya takut di sana nanti saya pun menjadi orang lain, bukan menjadi seperti saat ini,” slorohnya yang kontan membuat bapak-bapak di warung kopi terpingkal malam itu.

Dan begitulah sosok Pak Abu. Masyarakat memuliakan dirinya. Pun misalkan ada masalah ini dan itu di kampung, bapak-bapak, ibu-ibu dan anak muda sering datang ke rumah Pak Abu untuk sekedar meminta solusi.

Aku pernah ke rumah Pak Abu yang baru di dekat jembatan kuning, setelah bengkolan patah kampung kami. Rumah itu sederhana dengan beberapa batang cokelat di halaman depan. Pinggiran rumahnya juga ditanam beberapa batang pinang yang melingkar. Saat aku masuk ke dalam ruang tamu, berjejer lemari-lemari yang penuh sesak dengan buku. Untuk pertama kalinya baru aku tahu, Pak Abu suka membaca buku apa saja. Dan bahkan banyak novel di dalam lemari itu! Sejak saat itu pun, aku sering datang ke rumah dan menghabiskan waktu untuk meminjam buku-buku bacaan koleksinya. Rumah ini beda dengan rumah yang dulu ditempati Pak Abu saat istrinya masih ada. 

Pak Abu sendiri kini seorang duda. Istrinya meninggal beberapa tahun silam karena dihujam peluru nyasar dalam salah satu kontak tembak di kampungku. Saat mendengar kabar melalui ponsel saudaranya, ia langsung pulang ke kampung. Dengan wajah pucat, mata yang menerawang jauh entah kemana, Pak Abu hanya bisa meremas ujung jari-jemarinya. Dan sejak saat itu pula ia meninggalkan pekerjaan di kota sebagai pengusaha toko bangunan dan menetap di kampung, sambil mengontrol para karyawannya dari jauh.

***

Istri Pak Abu adalah seorang guru ngaji di kampung kami. Bahkan aku dan beberapa generasi setelah kakakku, semua belajar ngaji pada istri Pak Abu saban malam. Istri Pak Abu adalah orang yang juga ramah menurutku. Ia tak pernah bosan mengajari kami. Ia begitu tekun mengajari kami yang saban hari luput dalam menghapal. Tak pernah ada keluhan dari istri Pak Abu kepada orang tua kami tentang kenakalan kami di rumah ngajinya. Mungkin karena hal ini pula yang membuat orang tua kami mengirimkan kami kepada istri Pak Abu untuk belajar mengaji. Padahal saat itu pun banyak tempat pengajian di kampung kami.

“Kalau tuengang[1], pukul saja dengan awe[2] itu, Cut Kak![3]” ujar orang tuaku kepada istri Pak Abu. 

Saat istri Pak Abu terkena peluru nyasar di kampung, semua orang berbondong-bondong datang ke rumah. Tak pernah aku melihat para pelayat yang begitu ramai di kampungku. Bahkan dari desa-desa lain pun berdatang untuk mengucapkan belasungkawa.

Nahas memang istri Pak Abu. Malam itu aku masih ingat kejadiannya. Saat kami pulang mengaji dari rumah Pak Abu, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Kami yang belum jauh beranjak dari pagar rumah Pak Abu, langsung disuruh masuk kembali ke dalam rumah. Dan kami pun masuk. Setengah jam lebih dan dalam keadaan lampu mati mendadak! Dan saat itu aku takut bukan main. Kontak tembak itu sendiri membuat kampung kami mencekam.

Saat kontak tembak berhenti, aku menemukan Amir di ruang tamu tengah menjerit melihat ke arah ibunya dengan ceceran darah segar sambil mundur ke arah lemari. Dan saat itu pula aku merasakan kepanikan yang luar biasa. Bulu kudukku saat itu seperti hendak copot naik ke atas kepala.

Orang-orang kampung datang merubungi rumah Pak Abu malam itu. Aku dan Amir serta anak-anak lain yang belum pulang ke rumah, semua pucat pasi. Dan kejadian ini membuat gempar seisi kampung. Ditambah Amir yang tak berhenti berteriak memanggil nama ibunya dalam pelukan Mak Loet, adik istri Pak Abu.

“Cut Kak Saudah kena timbak[4], Cut Kak Saudah kena timbak,” jerit Mak Loet yang membikin lebih pilu malam itu.

Mengingat hal ini, aku kadang jadi merinding lagi dan lagi. Sejak daerahku ditetapkan menjadi Daerah Operasi Militer, gerak-gerik kami selalu dicurigai. Kami tak bisa berbuat apa-apa kala itu. Apalagi saat itu aku belum terlalu mengerti ada apa sebenarnya di kampungku, yang katanya ingin memisahkan diri dari bendera yang kuhormat setiap Senin pagi di sekolah.

***

Beberapa tahun sepeninggalan istri Pak Abu, Amir ikut serta. Ia juga meninggal dengan lebih tragis, ususnya terburai keluar. Menurut cerita, saat itu ia hendak memasang bom rakitan di jalan kampung yang selalu dilewati iring-iringan Reo tentara. Tapi nasib memang tak beruntung, malah bom rakitan itu meledak sebelum waktunya dan mengenai tubuh Amir yang saat itu pula langsung meninggal dunia. 

Sebelum kejadian itu, aku sempat bertemu dengannya beberapa kali. Kami pun saat itu sudah dewasa. Sudah saling tahu bagaimana keadaan di negeri kami. DOM[5] atau Operasi Jaring Merah[6], dan segala hal yang berbau konflik lainnya.

“Kau tak perlu melakukan hal itu, Amir. Biar Allah membalaskan,” kataku menyakinkannya. Tapi mungkin karena begitu dendam dengan kematian ibunya, ia sebagai anak tak menerima.

“Kau sama saja seperti mereka!” mukanya memerah. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi melihatnya di kampung.

Kepada Dekna, aku sering menanyakan keberadaannya. Tapi Dekna pun tak tahu.

“Amir sering tak pulang ke rumah,” katanya.

“Dan sejak kejadian meninggal ibunya, ia berubah total. Jadi sering murung.” Sambung Dekna, sepupu Amir itu.

“Pak Abu saja yang sering mengajaknya bicara, tak ditanggapi.” Aku tahu. Begitu terganggu psikologi Amir.

Bagaimana pun, ia sahabatku dari kecil. Dan aku juga pernah merasakan apa yang ia rasakan. Walau bukan menimpa terhadap keluargaku, tapi bukankan istri Pak Abu adalah orang tua keduaku karena ia adalah guru ngajiku?

***

Beberapa hari ini Pak Abu tak terlihat di rumahnya. Aku yang kini sudah disibukkan dengan makalah-makalah kampus, tak bisa memperhatikan lagi apa saja yang ia kerjakan. Sejak dari dulu, semenjak Pak Abu menetap di kampung dan tidak kembali ke kota, rumah keduaku adalah ruang tamunya yang penuh buku.

Suatu kali, saat aku baru naik smester dua, aku melihat mata Pak Abu berkaca-kaca. Ia duduk membelakangiku. Kaca dihadapannya memberi kesempatan padaku melihatnya menangis tanpa suara. Aku ingin mendekat saat itu. Ingin kupeluk Pak Abu seperti kupeluk ayahku sendiri.

Perlahan, aku juga meneteskan air mata. Aku tahu apa yang dipikirkan Pak Abu. Dalam kepalanya pasti berisi tentang Amir, istrinya, dan kesepian yang datang begitu cepat dalam rumahnya.

“Seandainya Amir masih ada, pasti ia juga akan sibuk seperti dirimu saat ini dengan makalah-makalah,” Pak Abu menghapus air matanya dan berpaling ke arahku.

“Aku tak bisa melarangnya menjadi pemberontak. Itu pilihannya. Dendam telah melumatkan hati anakku yang lembut itu,” kali ini aku yang tak bisa menahan air mata. Aku sesunggukan. Terbayang olehku wajah kecil Amir yang baik dan ramah seperti ibunya.

Dalam seminggu ini saban sore aku lewat lagi di rumah Pak Abu. Pintunya tetap rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan Pak Abu dari dalam. Aku diserang khawatir. Mendadak ingat kejadian yang menimpa istrinya dan anaknya. Dalam hati aku berdoa untuk keselamatan Pak Abu. Ia di kampung ini begitu dicintai oleh masyarakat. Orang-orang masih butuh Pak Abu sebagai teladan yang baik.

Dekna, sepupu Amir yang tinggal berseberangan jalan dengan rumah Pak Abu juga tak tahu. Ia tak terlalu menaruh perhatian pada keganjilan-keganjilan seperti ini. Perempuan itu asik dengan dirinya sendiri dan keluarganya. Malah aku yang terlalu sibuk menanyakan ini dan itu kepadanya.

Dalam keadaan begitu, aku memutuskan pergi ke warung Bang Lah. Biasanya dari sana pasti ada suatu kabar yang bisa kudapat. Bapak-bapak di sana biasanya suka mengabarkan apapun di warung kopi.

Dan benar saja, sesampai di warung Bang Lah, berita yang pertama kali kudengar adalah tentang 4 orang bersebo memakai loreng yang pagi itu jam 5 subuh meringsek masuk ke rumah Pak Abu. Dan sejak saat itu pula Pak Abu tak lagi pernah terlihat.

Aku terduduk lemas saat itu juga. Bapak-bapak di warung Bang Lah semua terdiam. Dan aku lebih terdiam lagi mengetahui begitu tragis nasib Pak Abu dan keluarganya. Aku mungkin masih beruntung. Hanya ayahku saya yang diculik dan tak tahu rimbanya sampai saat ini.*




[1] Bandel
[2] Rotan yang sering digunakan dirumah ngaji di Aceh
[3] Panggilan Kakak kepada orang perempuan di Aceh
[4] Kena Tembak
[5] Daerah Operasi Militer
[6] Sebutan Lain untuk DOM


Serambi Indonesia, Minggu, 29 Mei 2016

Posting Komentar

0 Komentar