Perjuangan Ibunda dalam Novel Maxim Gorki dan Kondisi Sosial Akhir Abad ke-19 di Rusia dan Indonesia


mediaindonesia.com/sajak-kofe



"Ibunda" adalah novel semi-autobiografi karya Maxim Gorki. Novel ini pertama kali kali diterbitkan pada tahun 1906, di tengah kondisi sosial yang keras di Rusia pada akhir abad ke-19.

Buku ini bercerita kehidupan seorang anak muda bernama Pavel Vlasov, yang ditinggalkan oleh Palegia Nilovna, ibunya di masa kecilnya dan tumbuh dewasa di tengah keadaan Rusia yang berkecamuk hebat. Gerakan sosial di Rusia saat itu benar-benar terjelaskan dalam novel ini.

Pelagia adalah seorang wanita miskin yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ayahnya adalah seorang alkoholik yang tidak bertanggung jawab, dan pemukul.

Pavel, anak sulung dalam keluarga, tumbuh dewasa di lingkungan yang keras. Ibunya, Pelagia, sering meninggalkan Pavel untuk mencari uang dan berusaha mencukupi kebutuhan keluarga sehingga dia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan terampil dalam menghadapi kesulitan hidup.

Suatu hari, Pelagia kembali setelah menghilang selama beberapa waktu. Dia memiliki seorang kekasih baru bernama Vlassov. Pavel awalnya merasa canggung dan tidak senang melihat ibunya bersama seorang pria lain. Namun, hubungan mereka berkembang dengan baik, dan Pelagia berjanji akan berubah dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Pavel.

Meskipun memiliki semangat perubahan, namum sebenarnya mereka menghadapi konflik yang besar dalam keluarga. Vlassov, kekasih Pelageya, sering kali bertindak kasar dan kejam terhadap Pavel. Konflik ini menciptakan ketegangan yang mempengaruhi hubungan mereka.

Pavel bergabung dengan gerakan pekerja dan berjuang untuk hak-hak mereka. Ia menyadari bahwa kondisi sosial di Rusia harus berubah dan melawan penindasan. Namun, salah satu teman sosialis Pavel mengkhianatinya, yang menyebabkan dia ditangkap.

Pavel mengalami penyiksaan dalam penjara hingga membuatnya meninggal dalam keadaan tragis. Hal itu menyebabkan Pelagia merasa putus asa dan penuh kesedihan. Dia menanggung penderitaan yang besar dan mencoba bertahan untuk Pavel.

Kematian Pavel merupakan pukulan berat bagi Pelagia. Dia merasa kehilangan dan hancur karena harus kehilangan anak yang dia cintai dengan segenap hatinya. Meski Pelagia tenggelam dalam kesedihan, namun saat itu dia juga berusaha mencari arti kehidupannya setelah kepergian Pavel. Pelagia menjalani perjalanan spiritual yang mendalam. Dia mencari makna hidupnya melalui refleksi dan introspeksi yang mendalam.

Pelagia merenungkan pengorbanan dan penderitaan yang dia alami sebagai seorang ibu, hingga akhirnya mengambil keputusan untuk melanjutkan gerakan buruh yang dimulai oleh Pavel.

Meninggalnya Pavel juga menjadi babak baru dalam kehidupan Pelagia. Dia berusaha menemukan kekuatan dan inspirasi untuk melanjutkan hidupnya serta memperjuangkan perjuangan gerakan sosial secara lebih dispilin.

Dia mulai mendukung hak-hak pekerja, membantu mereka yang tertindas, dan menjadi suara bagi mereka yang tidak terdengar. Pada klimaksnya, Pelagia mendapat julukan "Ibunda" dari orang-orang yang berada dalam gerakan sosialis.

Ibu Pavel itu juga menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya.


kompasiana.com


Pelagia menunjukkan keteguhan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi tantangan hidup. Meskipun dia mengalami kehilangan yang besar dan mendapat tekanan dari pihak berwenang, dia tetap teguh pada keyakinan dan prinsipnya.

Pelagia menjadi sosok yang inspiratif, dan memberikan harapan dan kekuatan bagi orang-orang di sekitarnya.

"Ibunda" menyoroti pentingnya perjuangan sosial, keadilan, dan peran ibu sebagai simbol kekuatan dan keberanian. Buku ini meninggalkan kesan mendalam tentang cinta, pengorbanan, dan tekad dapat mengatasi segala rintangan dalam menghadapi ketidakadilan sosial.

Dalam novel ini, Pelagia menjadi lambang ketahanan dan semangat perjuangan yang tak terbantahkan. Ceritanya yang mengharukan tentang seorang ibu yang kuat dan anaknya yang berjuang dalam kondisi sosial yang keras membawa harapan baru, dalam menghadapi keadaan yang tak menentu saat itu.

Pada akhir abad ke-19, Rusia menghadapi kondisi sosial yang sulit dan penuh ketegangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi sosial di Rusia pada periode tersebut seperti kesenjangan sosial yang besar antara kaum bangsawan yang kaya dan kaum buruh yang miskin.

Revolusi industri yang berkembang pesat di Rusia pada periode tersebut menyebabkan pertumbuhan kelas pekerja pabrik yang besar. Buruh pabrik biasanya bekerja dalam kondisi yang sulit, dengan jam kerja yang panjang, upah rendah, dan perlakuan yang tidak adil. Kondisi kerja yang buruk ini memicu ketegangan antara pemilik pabrik dan para pekerja.

Pemerintah Rusia pada masa tersebut dikenal karena praktik-praktik represifnya terhadap rakyat. Polisi rahasia, seperti Okhrana, dipergunakan untuk memantau dan menindas aktivis politik dan gerakan sosial. Pemberontakan dan protes sosial sering kali ditindak dengan kekerasan, penangkapan, dan hukuman.

Sebagian besar penduduk Rusia pada waktu itu masih hidup sebagai petani atau buruh tani. Namun, sistem agraria yang ada di Rusia pada masa itu didominasi oleh tuan tanah yang memiliki kekuatan dan kendali atas sumber daya alam. Petani sering kali terjebak dalam siklus hutang dan ketergantungan terhadap pemilik tanah.

Kondisi sosial yang keras ini membawa pada perkembangan gerakan sosialis di Rusia. Para pemikir dan aktivis sosialis seperti Karl Marx dan Vladimir Lenin mempengaruhi pemikiran dan aksi para buruh dan pekerja di Rusia. Gerakan sosialis berjuang untuk perubahan sosial, keadilan ekonomi, dan penghapusan sistem feodal.

Kondisi sosial di Rusia pada akhir abad ke-19 merupakan latar belakang yang penuh tekanan dan ketegangan, di mana ketimpangan ekonomi, perlakuan tidak adil terhadap buruh, dan represif politik menjadi isu yang mendominasi.

Kondisi ini memberikan konteks penting bagi cerita dalam buku "Ibunda" karya Maxim Gorki, yang menggambarkan perjuangan individu dan pergerakan sosial dalam menghadapi ketidakadilan tersebut.

Rupanya, apa yang terjadi di Rusia saat itu tak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia. Pada abad ke-19, Indonesia mengalami perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang signifikan sebagai akibat dari kolonialisme Belanda.

Pada awal abad ke-19, Hindia Belanda (sebutan untuk wilayah Indonesia saat itu) merupakan jajahan Belanda yang dikuasai oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Penjajahan ini mengakibatkan eksploitasi ekonomi dan politik terhadap penduduk pribumi Indonesia, yang sering kali diperlakukan sebagai objek untuk keuntungan komersial Belanda.

Meskipun saat itu Kolonialisme Belanda membawa perubahan besar dalam sektor ekonomi Indonesia, namun Belanda menguasai dan mengendalikan sebagian besar sektor ekonomi, seperti perdagangan rempah-rempah, pertambangan, dan perkebunan. Hal ini menyebabkan terjadinya pemerasan sumber daya alam Indonesia dan penindasan terhadap petani dan buruh.

Penjajahan Belanda juga menciptakan kesenjangan sosial yang besar di Indonesia. Kekayaan dan tanah terpusat di tangan para pemilik modal Belanda dan kaum pribumi yang bekerja sebagai petani dan buruh sering kali hidup dalam kemiskinan yang ekstrem.

Abad ke-19 juga menyaksikan munculnya gerakan perlawanan dan gerakan nasional yang bertujuan untuk melawan penjajahan Belanda. Beberapa tokoh terkenal seperti Diponegoro, dan Imam Bonjol memimpin untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, mencoba mempertahankan kedaulatan dan nilai-nilai lokal.

Kondisi sosial di Indonesia pada abad ke-19 ditandai oleh penjajahan Belanda, eksploitasi ekonomi, dan perlawanan terhadap penindasan kolonial. Hal ini memberikan landasan penting bagi perkembangan gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada abad-abad berikutnya.

Para bangsawan dan pemilik tanah (Tuan Tanah) mendominasi ekonomi dan politik, sementara sebagian besar penduduk tinggal dalam kemiskinan yang meluas. Hal ini sama persis dengan apa yang dikisahkan Maxim Gorki dalam novelnya “Ibunda” ini.

 


Posting Komentar

0 Komentar