Setangkai Bunga Sosiologi



Setangkai Bunga Puisi

Oleh Hudan Hidayat

The Far East and The west 


"Selalu menyenangkan mengalami keadaan membalik di dalam bahasa. saya tak yakin pilo poly menghayati satu kalimat dalam novelcamus: kita hanya mempunyai seorang ibu, yang kini diam-diam tengah dibalikkan oleh penyair putra aceh ini:

   "setidaknya aku pernah jadi ibumu", katanya.

Kita segera mengerti maksud sudut pandang, saat membaca nama karangan Arnold Tyonbee yang saya pakai jadi judul tulisan sementara tulisan ini. Khusus pada kata "far" itu, yang langsung diikat oleh "east", bisa saja ia adalah sebuah nama: timur jauh, tapi bisa pula kita rekatkan dari pandangan the west yang mengindikasikan bahwa seseorang di "barat" sedang memandang ke "timur" dan dari tempatnya, the west, the east itu menjadi the far. pendek kata sebuah sudut pandang dari mana mata bahasa menggerakkan dirinya, bahwa yang sedang ia tatapi memang "jauh" dari tempat ia mengamati. tak terasa saya telah agak melonggarkan struktur dari "the far east" mungkin dari kenyataan konteksnya sendiri, dengan menyentuhnya lewat sudut pandang tertentu yang bekerja dalam diri saya saat bermain dengan bahasa.

Akan keadaan yang membalik dari kenyataan ke bahasa, dari bahasa ke kenyataan, ya, kadang-kadang kurasakan buku adalah dunia seperti hidup kita juga. kita mungkin akan menyebutnya buku-buku yang sunyi seperti masa lalu yang telah menjauh itu, kita sebut dunia senyap sepi karena hanya di jiwa kita yang mengenangnya saja tempatnya. Sudah lama juga, buku-buku yang sunyi itu tidak memperlihatkan dirinya yang berhias dengan kata-kata: setangkai bunga. Rupanya seseorang telah menutupi sebuah kata dari urutan terakhir "setangkai bunga", tertutup rapat seperti setiap tubuh manusia yang kini, dulu itu tapi hingga kini ia masih, sunyi berdiam dalam "sosio", tempat tubuh semua kita manusia dengan lakunya diikat erat-erat oleh "logi" yang mengikat isinya. di sinilah tubuh wacana kita itu bergerak - tubuh kebudayaan yang diikat oleh sebuah ilmu bernama "sosiologi", tapi di buku ini seseorang hanya minggalkan "setangkai bunga" saja. entah mengapa ia menutupi "sosiologi". padahal ia setangkai bunga sosiologi, tempat dua orang sosiolog ternama kita, selo soemardjian dan soelaeman soemardi menulis - mereka menjadi editor dari naskah-naskah asing yang dibawakan ke bahasa kita, lewat nama seolah sebuah puisi:

setangkai bunga sosiologi.

Dari situ bronislaw Malinowski menulis "theories of culture change" dan yang menarik perhatian saya atau saya hanya memusat kepada alinea kedua dari awal kalimat malinowski. Ia berkata: "Acontact situation is at any moment a cultural reality." Jadi begitu rupanya: di setiap momen pertemuan akan selalu menghasilkan momen kebudayaan, sebuah kenyataan yang tak otomatis saat itu meletus tapi tersimpan, terdesak, mengalami penjauhan tapi makin mengental di dalam. Ia kelak menjadi setangkai bunga bahasa, seperti dunia masa lalu yang pernah berkontak dan membentuk kenyataan kejadian di saat peristiwanya, tapi kini telah mengalih menjadi kontak kata di dalam bahasa, momen dari kenyataan kebudayaan lanjutan dari kenyataan kehidupan di luar itu.

Pilo poly rupanya salah satu dari partisan kebudayaan model yang digambarkan oleh malinowski dengan satu kalimat yang jitu itu. Seolah-olah kulihat dengan nyata, wajah itu berganti arah: dari seorang ibu di masa lalu yang menyimpan sepi kini sepi itu melompat dan hinggap di anaknya: Pilo Poly yang menyimpan sunyi. semua akibat dunia saling berkontak (baca: bertemu), membentuk perubahan kenyataan (baca: mewujudkan perubahan kenyataan hidup hari ke hari), sampai seorang penyair datang dan menghidupkan mereka lagi ke dalam dunia puisi - pilo poly yang menulis serangkaian puisi mengenang sebuah kontak kebudayaan (baca: kontak senjata) yang pernah terjadi di negeri kita.

Laku Kata Yang Membentuk Keindahan Dalam Bahasa" Momen bahasa menghilangkan pembaca
 "Suatu masa dahulu"

Laku kata di dalam bahasa itu yang menarik, dan mereka punya hak untuk tidak dilampaui begitu saja, sebab melewatinya dengan sejumlah besaran, kita tidak akan melihatnya sebagai sebuah keindahan. keindahan dari cara penyair mengajak untuk ikut mengenang. sebenarnya siapakah yang mengenang? kita atau bahasa? bahasa atau kata? tiga kata dibentuk oleh pilo poly dan semua saling menguatkan.

"Suatu masa dahulu"

Tapi suatu masa dahulu ini tidak juga bisa membentukkan keindahan - betapa ironi kata ini: yang dicatatnya adalah luka kemanusiaan tapi ia sampai sebagai keindahan dalam bahasa, setidaknya sebuah rasa bahagia yang membuat kita merenungkan tempat di mana ruang ruang perenungan itu akhirnya membawa kita kepada dunia yang telah mengatasi peristiwanya, kita disublimasikan oleh baris baris bahasa pilo poly, kita kini ikut menyublimasi di dan sebagai puisi, menghayati masa lalu dari dalam, keluar dan mulai memandangi setiap kejadian sebagai peristiwa yang membawa makna, lalu diri mengecil di sini, (kutuk di awal yang dilepas mungkin telah ditarik lagi, karena kita mulai merenungi segalanya dalam arahNya:

Hendak apa?

Ikhlas lalu menjadi pegangan dan di sanalah kita memeluk tiap airmata ke dalam kata hasil penyulingan lewat bahasa (pilo ini), ialah tawakal dari orang yang mengerti bahwa segalanya adalah ujian dan di kata ujian ini, semua baris baris pilo mengarah, mengajak kita dengan cara memelankan segenap peristiwa masa lalu, ke dalam ruang ruang yang membuat orang memikirkannya; cukup jauh jarak itu: puluhan tahun berlalu dan kini yang terisa kenangan, ingatan dari peristiwa yang dibawakan dengan cara, segala peristiwa itu tak lagi dikutuki, seolah ingatan penyair pilo telah memaafkan walau masih juga ada yang diam diam terasa pahit, keluar dari dalam bahasa tapi akhirnya, dunia tawakal pasrah itu yang menjadi rasa bahasa di dalam puisi.)

Kita telah keluar dari "suatu masa dahulu", mengikuti seluruh kata yang bekerja di puisi ibu yang menyimpan sepi pilo poly. sugesti penyair berhasil membawa kita ke ibu yang memang menyimpan sepi dari cara kata itu merawat si ibu, begitu sepi wataknya (watak bahasa pilo). Kini kita kembali lagi karena segalanya mulai dari "suatu masa dahulu" - atau ia mulai dari "ibu yang menyimpan sepi"? saat penyair mengajak ke dalam, ikut menyimak dengannya dari dalam - atau si penyairnya telah menghilang, meninggalkan kita agar masuk karena ia kini tidak lagi di luar sehingga kata menyimak itu tak tepat lagi: kedudukan si penyair bukanlah seperti kita lagi, yang masih di luar menyimaknya, tapi di dalam, telah menjadi peristiwa di dalam bahasa.

Segala ingatan, ingatan ini adalah imaji dari serpihan serpihan tubuh manusia yang kena peluru, mati di sana, akan hal itu, penyair inginkan kita menghilang dengan cara mengikuti dari dalam agar sesekali diri kita seolah ikut mengalaminya, karena di dalam, jarak telah diretas oleh bahasa, ruang mungkin bagi si pembaca menjadi si penderita di dalam sebagai bahasa. jadi kita diminta menghilang, menjadi setiap peristiwa dalam bahasa yang diceritakan sebagai puisi secara langsung. apakah ini sebuah sudut pandang atau teks puisi itu yang memang menyediakan diri agar kuasa menghilangkan pembaca karena si pembaca telah jadi peristiwa di dalam puisi?

 "atau bagaimana?"

Mana lagi jarak, saat kita masuk ke "suatu masa dahulu", kini ada di "masih ada yang kita bicarakan, perihal angin yang menabrak luka nganga lututmu". bukankah kita-pembaca atau aku-pembaca telah bermetamorfosis ke "kita"? "Aku" telah jadi "kita", aku yang membaca dan aku yang membaca (saya yang menulis ini, atau dirimu yang membaca karangan ini), telah jadi "kita", di "kita" ini "kau dan aku" berada. apakah "masih ada yang kita bicarakan", yang ada di dalam jiwa kita sebagai penanda yang ditangkap oleh petanda - kesadaran kita yang menangkap penanda yang adalah petanda, kita berada di luar mereka? mereka ada di dalam diri kita, kita masuk ke dalam mereka. kita menghilang dan menjadi "kita" di sini.

Kita berada di dalam bahasa, kita menjadi bahasa, tak sanggup keluar berdiri di luar bahasa: bahasa itu ada di dalam pikiran kita, tubuh kita ada di dalam ruang pikiran kita - tubuh yang menyadari dan pikiran yang mengalami, dari tubuh yang mengalami dan pikiran yang menyadari - mana aku-kau? kitalah: menghilang dan tenggelam sebagai bahasa. manusia telah jadi bahasa, pecah ke dalam ruang ruang tempat kata melakukan kontak satu dengan yang lain.

Mundur ke masa lalu berarti bukan membuat jarak masa kini ke masa lalu, tapi menjadi masa lalu karena kita yang ada di dalam "suatu masa dahulu".

Posting Komentar

0 Komentar