Pilo Poly
Tempo hari saya mengirimkan pesan melalui jejaringan sosial Facebook kepada salah satu sahabat yang tengah ada di Jakarta untuk mengajaknya bertemu. Namanya Idrus Bin Harun, salah satu perupa yang terpilih mewakili Aceh untuk acara tahunan yang diadakan oleh Jakarta Biennale di Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur II No. 4 Jakarta Selatan pada tanggal (14/11) dan berakhir pada Selasa, (17/11).
Seperti yang kita ketahui, Jakarta Biennale adalah salah satu perhelatan akbar seni rupa Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta setiap dua tahun sekali. Acara yang pertama kali di gelar pada tahun 1975 ini dinamakan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang terus bertahan sampai dengan saat ini.
Pada pukul 19.00 WIB, saya menghubungi kembali Idrus untuk memastikan pertemuan. Katanya, ia akan datang dan mengajak saya bertemu di Taman Ismail Marzuki. Katanya di sana ada Pidato Kebudayaan yang juga setiap 10 Novermber diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Kata saya, tidak mengapa. Kita ketemu di sana.
Saya keluar dari tempat saya kost sekitar pukul 19.20 Wib. Sempat makan dulu di salah satu warteg di dekat kosan. Berselang dua puluh menit kemudian, saya dan teman saya, bergerak cepat ke arah Cikini. Perjalanan tidak macet, saya sampai di Taman Ismail Marzuki setengah jam kemudian. Dan kembali saya menghubungi Idrus, dan, tanpa bisa mengelak lagi, Idrus tak bisa hadir. Karena disebabkan kecapean melukis mural yang diberi judul Bhoneka Tinggal Luka untuk persiapan acara Jakarta Biennale itu.
Saya tidak masalah. Karena memang tidak ada persiapan apapun, saya sempat bingung mau kemana. Lantas, untuk membuat saya tak jenuh, saya berjalan ke arah teater besar di TIM. Katanya, memang ada Pidato Kebudayaan di sana. Saya sebenarnya kurang tertarik, maksud saya tadinya hanya ingin bertemu Idrus, dan melihat proses saat ia meleburkan diri dengan kanvas. Dan mungkin sambil mengisap rokok ia tarik kuat-kuat kanvasnya seperti orang-orang tua kami dulu ditarik paksa ke dalam kematian, atau kehilangan yang tak pernah kembali itu.
Namun siapa yang sangka, Berharap mangga, durian pula yang jatuh. Begitulah tiba-tiba pepatah itu meluncur dalam benak saya saat di teater besar, ketika bertemu dengan Nezar Patria, salah satu korban penculikan pada tahun yang panas 1998. Ia diculik pada 13 Maret 1998 saat gelombang protes kepada kediktatoran Soeharto memuncak. Walau saat pertemuan hanya salam dan angguk, senyum dan tak banyak bicara, saya tahu, sebenarnya Nezar Patria penuh dengan keterbukaan.
Kami berpisah saat panitia mulai mengumumkan lewat mic untuk segera masuk. Belum ada dialog khusus antara saya dengan Nezar. Walau bisa dibilang saya masih penulis abal-abal dan tentu kikuk saat bertemu orang besar, sebanarnya saya ingin sekali meminta masukan-masukan dari pria kelahiran Sigli, 5 Oktober 1970 ini. Saya pernah membaca puisi-puisinya di Kompas berjudul Kutaraja 1874 yang menggetarkan itu.
Saya masuk dan duduk bersama teman saya yang terpisah dengan Nezar. Lampu-lampu mati. Suara seorang wanita menggema dari setiap soundsystem di ruangan. Lalu seorang lelaki berpostur tinggi, dengan tato-tato unik di tangan maju di pentas, “Salam budaya!” katanya takzim kepada hadirin. Dan dimulailah, Pidato –atau pengantar- pembuka itu.
Dari pidato pembuka ini, saya menangkap begini. Dalam rentang waktu yang sudah jauh dari kemitosan apapun di Nusantara, tapi masih ada sebagian besar orang-orang dan kaum tertentu yang secara tidak sadar masih saja menggunakannya. Tidak berkiblat pada nalar, daya pikir sebagai manusia. Juga masalah lain, yang paling aktual yang sudah ada dalam rapat pleno mereka, yaitu: menguatnya radikalisasi, dan bentrokan-bentrokan horizontal, yang jika ada sesi tanya jawab, saya ingin menanyakan kepada Irawan Karseno itu bentrokal seperti apa? Apakah tentang agama, atau suku, atau keretakan negeri-negeri lain yang bukan anak kandung Indonesia kecuali pulau jawa?
Acara terus berlanjut. Pada pukul 21.00 WIB, suara yang menggema tadi dari soundsystem ruangan, kembali menghadirkan salah orang penting di Dewan Kesenian Jakarta, yaitu Aksan Sjauman. Ia bersama-sama dengan teman komite musik, membuat semua undangan tampak terpukau. Musik-musik perpaduan yang dihadirkan ke ruang publik oleh timnya, sungguh membuat saya ingin terbang ke langit tujuh, dan ingin melihat tabir di balik langit itu, apakah ada langit ke delapan di sana? Dan begitulah. 3 komposisi musik yang dihadirkan membuat seluruh undangan menikmati pertunjukkannya.
Acara berakhir pada pukul 22.00 WIB dengan riuh tepuk tangan yang dihanturkan kepada komite musik dan juga kepada Nirwan A. Arsuka. Pria yang lahir di Sulawesi Selatan ini adalah wisudawan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, jurusan Teknik Nuklir. Ia juga tercatat sebagai salah satu Direktur Freedom Institute masa bakti 2012-2014. Selain itu, ia juga pernah menjadi Editor harian Kompas dari 2001-2006.
Dalam pidato kebudayaannya, tampak jelas bahwa pria lulusan Teknik Nuklir ini lebih banyak berkecimpung sebagai penggiat, pengamat, dan penulis di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.”Ilmu menghadapi seluruh goncangan dan serangan itu dengan mencoba memahami mereka seterang mungkin, memilah-milah pokok soalnya sehalus mungkin, dan itu semua dilakukan dengan kembali ke laboratorium dan perpustakaan,” ujarnya.
Dapat dibayangkan bahwa, di dunia sains, ilmuwan-ilmuwan saling mendorong untuk menemukan hal baru. Saling mengisi kekosongan dan saling berkontribusi. Tidak lantas saling menyalahkan satu sama lain untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Berbeda pula halnya yang terjadi saat ini kepada budaya-budaya kita, khususnya budaya menulis. Orang yang lebih jago dan hebat adalah dewa untuknya sendiri, bukan menjadi pelita terang yang membuat orang lain pun seperti dirinya. Ini yang mungkin bisa saya tangkap secara nalar saya sendiri. Mungkin, dan tidak mungkin. Persepsi bisa apa saja, bukan?
Keluar dari ruangan yang mendinginkan tulang-belulang ini, saya berhenti sejenak. Duduk di pelataran depan teater besar, berharap bertemu kembali dengan Nezar Patria. Tapi tak mungkin menunggu, karena Nezar pun telah menghilang, menghangatkan diri dengan kopi. Tak mengapa saya pikir.
Sambil menunggu, terlihat oleh saya wajah yang tak asing. Azhari Aiyup, sedang berdiri dan mengobrol dengan A.S Laksana. Saya mendekat dan berjabat. Sejak sore, memang ada kabar dari Idrus bahwa Azhari dan Fuady sedang di Bandara, dan akan datang pas kami nantinya bertemu. Tapi akhirnya saya hanya bertemu dengan Azhari saja. Tidak dengan Idrus, atau pun Fuady.
Saya pun tidak berbicara banyak dengan Editor Serambi Indonesia ini. Ia terlihat sibuk berbicara asik dengan AS. Laksana. Padahal ingin sekali saya semeja sekopi dan sebicara dengan Azhari. Namun apa dikata, mungkin tidak kali ini, kali depan, mungkin? Berbicara banyak hal dengannya, apalagi tentang proses kreativenya itu, yang melahirkan buku Perempuan Pala, juga pernah menerima Free Word Award dari Poet of All Nation, Belanda.
Ya, akhirnya, saya ucapkan selamat kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang banyak menorehkan kreasi dan sepak terjangnya di berbagai kegiatan. Untuk 10 November kali ini, mungkin yang terakhir, tapi sosok-sosok lama bisa saja menjadi jembatan kepada yang baru, bukan?
Kepada Irawan Karseno, boleh kubawa #Suara Jernih dari Cikini ke Tangsel?