Harian Serambi Indonesia, Minggu, 21 Desember 2014

Pembicaraan Terakhir Kita
:Ahmad

Tersebutlah engkau: lidah api yang mencari air.
Lelah panas menerabas tubuh waktu. Kendatipun terbakar,
kita takdir yang tak mudah terbang
umpama seekor burung pulang ke sarangnya.

“Aku adalah pohon yang
didatangi kabar duka,  mobil mengapung dalam mata,
dan debu-debu menempel di tubuh keheningan.
Juga angin, yang sibuk merapal banyak doa.”

Tegaklah. Seperti aku memuja
kehidupam dan kematian.
Teluh yang diterbangkan dari negeri jauh,
telah rupanya menghancurkan segenap kota.

Tapi demi apapun, kita adalah dua firman
yang lahir untuk mengukur, sejauh mana
sanggup menakar kepergian, yang di bawa
dengan arak-arak dahsyat gelombang


Memoar Desember
:Susan


seandainya di dadaku penuh ombak
kau pasti akan mendengar deburnya
sambil menerka sejauh mana
aku sudah menyelinapkan sunyi
tanpa ada yang bisa membacanya


Aku masih di sini mengkhawartirkan rindu
yang kadang datang membawa namamu


tapi hendak kemana kusimpan rahasia ini
kau telah damai dengan bau laut
dan aku sudah lelah menunggu gelombang surut
berharap kau kembali menceritakan Ule Lheu kita
namun Desember itu menenggelamkan segalanya


ah, kau, laut,
gerak yang tak pernah sanggup ingin kulupa




#untuk seluruh korban Ie Beuna (tsunami), dan para sahabat-sahabatku yang dijemput Ie Beuna pada 10 tahun yang lalu (26 Desember 2004-26 Desember 2014)


http://aceh.tribunnews.com/2014/12/21/sajak-sajak